The Courage to Dream (A story from Bagas Adhika Putra, YES 2014-2015)



Saya ucapkan “halo” pada para pembaca! Semoga dalam penulisan post ini saya dijauhkan dari kesan sombong dan pamer. Jikalau ada beberapa hal di dalam post ini yang sekiranya terkesan layaknya saya menunjukkan self-pride diri saya secara berlebihan atau dengan penggunaan bahasa yang hiperbolis, mohon maafkan. Saya hanya berniat untuk mengutarakan beberapa hal yang semoga dapat memotivasi para pembaca sekalian bahwa… Your background doesn’t define your future.

Nama lengkap saya Bagas Adhika Putra. Saya lahir di suatu kota kecil di Jawa Barat tepatnya 17 tahun yang lalu pada tanggal 25 Maret. Dibesarkan di sebuah kota yang jauh dari hiruk-pikuk ibukota sangatlah menjadikan kota ini tidak begitu terkenal dan diketahui masyarakat negeri. Tiada bangunan-bangunan pencakar langit seperti pada umumnya di Jakarta; tiada toko-toko besar yang menjual berbagai barang-barang mewah; tiada mall, tiada Pizza Hut, KFC, McDonalds, bioskop, dan berbagai hal lain. Kota ini sangatlah minimalis, hingga kita dapat mengitari kota ini dalam waktu lima belas menit dengan sepeda motor berkecepatan 60 kim/jam. Terkadang, tren yang telah “booming” di kota-kota besar lainnya, barulah menjadi hits di kota ini 3 atau 4 bulan kemudian. Serta akses fasilitas urban lainnya pun tidaklah terlalu wah. Namun, bukannya saya merasa rendah diri dan malu akan identitas saya, malah saya merasa bersyukur dilahirkan di kota ini karena dari sinilah saya belajar untuk bermimpi dan di sini jugalah saya menyadari secara personal bahwa lirik lagu Laskar Pelangi : “mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia” ternyata adalah kebenaran universal bagi kita.
Saat itu saya baru duduk di bangku kelas enam sekolah dasar ketika saya pertama kali berkenalan dengan Nelson Mandela, Martin Luther King, Jr, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat buku IPS saya. Cerita kehidupan Mandela dan Martin yang benar-benar menginspirasi sangatlah mengundang decak kagum saya. Betapa tidak? Dua tokoh perdamaian dunia ini mampu mengubah pandangan dunia mengenai hal-hal yang mereka perjuangkan dengan bekal sebuah mimpi. Mimpi untuk membaskan dominasi kaum kulit putih dan politik apartheid di Afrika Selatan, serta diskriminasi terhadap kaum kulit hitam di Amerika Serikat. Kita semua tahu bahwa kedua hal tadi bukanlah lagi angan-angan belaka dan khayalan semu atau malah gagasan muluk dari Mandela ataupun Martin saat ini. Jadi, apa yang menjadi bahan bakar serta motivator utama mereka dalam mencapai aspirasi ini? Jawabannya adalah mimpi mereka. Lalu setelah membaca kisah mereka, saya merenungkan apa mimpi saya sebenarnya dan saya mendadak bingung bagaimana sebuah mimpi dapat mendatangkan perbedaan pada dunia ini? Saya baru menemukan jawaban dari pertanyaan pertama saya, ketika saya belajar mengenai Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk pertama kali. Ya, sebuah organisasi yang dulunya bernama Liga Bangsa-Bangsa ini berperan penting dalam menjaga hubungan harmonis antarnegara di atas Bumi kita. Tidak hanya itu, PBB juga mengekspos isu-isu global seputar kemanusiaan, kemisikinan, kesehatan, dan berbagai hal lainnya. Saya langsung terpana dengan penjelasan yang dipaparkan di buku IPS saya dan tanpa sadar saya berkata : “Aku mau kerja di situ” kepada teman sebangku saya. Saya sangat sadar orang-orang bekata mimpi saya terlalu tinggi, beberapa lainnya sempat menertawakannya karena melihat dari mana asal saya. Ayah saya hanyalah seorang pensiunan guru dan ibu saya yang merupakan seorang ibu rumah tangga. Dapat dikatakan kami hidup cukup sederhana karena uang pensiun ayah saya tidak melebihi 7 nominal angka. Ditambah lagi pandangan yang dianut orang tua saya kala itu selalu menegaskan saya untuk tidak bermimpi terlalu tinggi sebab jikalau mimpi tersebut tidak terealisasi, maka kita tidak akan jatuh ke dalam lubang penyesalan. Hal ini membuat saya tidak berani mengucapkan mimpi saya untuk bekerja di PBB lagi di depan kedua orang tua saya. Namun di dalam hati saya, saya berkata : “Beh, Mah… Suatu hari nanti kalian akan mendapati seorang tukang pos membawakan sebuah amplop berisi kartu pos dan beberapa fotoku berpidato di hadapan Majelis Umum PBB.” Dan semenjak itulah saya mulai terobsesi untuk menginjakkan kaki saya di kota New York, Amerika Serikat.
Saat saya resmi berganti seragam dari putih merah menjadi putih biru alias SMP, saya mulai berani untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai New York dan tak lupa, Perserikatan Bangsa-Bangsa. New York, sebuah kota di mana delapan juta individu menyebut kota ini sebagai rumah mereka dan kota di mana lebih dari lima ratus bahasa dituturkan setiap harinya. Ada suatu ketertarikan yang tidak terjelaskan melanda diri saya kala itu ketika saya melihat berbagai gedung tinggi layaknya Empire State, Chrysler, dan World Trade Center (yang sekarang tinggal sejarah); serta beberapa atraksi lain seperti Central Park, Times Square, dan Patung Liberty. Semua itu mampu menyulut semangat saya untuk terus belajar dan memohon restu pada Dia yang memiliki hidup saya. Walau saya adalah seorang Katolik, saya sangat percaya dengan sebuah peribahasa Islam yaitu : “Man Jadda Wa Jadda” yang berarti “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh, dia akan mendapatkan” sehingga saya mulai menyusun rencana hidup saya mulai dari saya lulus Sekolah Menengah Pertama hingga sepuluh tahun kemudian. Salah satunya ialah saya ingin melanjutkan pendidikan di Kota Bandung setelah menyelesaikan bangku SMP. Awalnya saya melihat banyak peluang untuk pergi melanjutkan studi di Amerika dengan beasiswa sesudah SMA nanti di Bandung yang terbukti dari cerita teman-teman saya di sana. Oleh sebab itu, saya sangat berkehedak untuk bersekolah di salah satu SMA negeri yang terbilang paling baik di kota ini. Syukur kepada Tuhan, Nilai Ujian Nasional SMP saya mencukupi untuk masuk SMA tersebut. Saya girang dan menyambut berita tersebut dengan bahagia karena saya merasa semakin dekat dalam menggapai mimpi saya. Tetapi beberapa hari setelah saya menerima kabar itu, saya tahu hal tersebut tidak bisa saya wujudkan. Ibu saya terserang stroke yang membuatnya lumpuh total. Diabetes yang telah ia derita lebih dari dua puluh tiga tahun berhasil menimbulkan komplikasi di tubuhnya. Dana yang tadinya dialokasikan untuk biaya saya masuk ke SMA di Bandung, kala itu segera ditunjukkan untuk penyembuhan ibu saya. Akhirnya dengan segala pertimbangan, akhirnya saya tetap melanjutkan SMA di kota saya.
Pada awal saya menjadi siswa SMA, saya sangat kecewa menghadapi kenyataan tersebut. Saya merasa impian saya telah direnggut dari tangan saya dan saya tidak tahu lagi apakah saya harus tetap bermimpi untuk pergi ke Amerika atau saya harus memendam dalam-dalam mimpi itu. Tak lama ketika belum selesai saya beradaptasi dengan situasi saya saat itu, Ibunda saya meninggal pada Februari 2013 yakni saat saya berada di bangku kelas sepuluh. Dan mulai dari situlah ujian terberat dalam hidup saya berlangsung. Saya sempat jatuh, berkali-kali jatuh melewati masa ini. Saya kesal dan jengkel melihat realita di depan saya seperti segala sesuatu yang penting bagi saya telah diambil. Saya hampir menyerah. Namun, saya masih percaya bahwa ada jalan lain untuk menuju mimpi saya. Semenjak itu, saya selalu berdoa dan berharap kepada Yang Mahakuasa kira-kira seperti ini setiap harinya : “Saya percaya akan ada jalan menuju Amerika dan New York, dan saya percaya saya akan berada di sana mungkin beberapa bulan, tahun atau ketika saya sepuh. Dan jikalau ya, tolong tunjukkan suatu hari nanti, Tuhan.” Saya tidak berharap muluk lagi, saya berpasrah perihal tujuan hidup saya. Tapi Tuhan tidak tidur. Akhir bulan Maret 2013, salah seorang guru Bimbingan Konseling saya datang dari pintu ke pintu kelas sepuluh seraya berkata : “Siapa yang mau mengikuti pertukaran pelajar? Kalian akan ke luar negeri selama satu tahun. Ada beberapa seleksi yang harus kalian lewati.” Ia lalu masuk dan menjelaskan beberapa hal terkait program ini : sebuah program pertukaran pelajar yang diselenggarakan Yayasan Bina Antarbudaya dengan tujuan menciptakan perdamaian antarbangsa di dunia dengan mengirimkan siswa-siswi berusia lima belas hingga delapan belas tahun untuk belajar di negeri orang selama sebelas bulan. Negara tujuannya pun beragam, ada lebih dari enam puluh negara yang aktif mengutus pelajarnya ke seluruh belahan Bumi hingga saat ini. Saya memiliki keyakinan bahwa inilah jawaban dari-Nya, dan akan sangat bodoh jika saya menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan bekal restu dari ayah dan kedua kakak saya, saya memberanikan diri untuk “mencoba peruntungan” saya dalam menjadi duta Indonesia di negeri orang.
Rangkaian seleksi pertukaran pelajar Bina Antarbudaya terdiri dari tiga seleksi tingkat chapter, dua seleksi tingkat nasional untuk program YES (negara tujuan hanya ke Amerika)/satu seleksi tingkat nasional untuk program AFS (negara tujuan ke Amerika dan negara-negara lainnya), dan satu seleksi berkas internasional. Setelah melewati seluruh seleksi, siswa-siswi  yang telah diarahkan baik untuk program AFS dan YES akan menunggu kabar penempatan mereka di keluarga penampung atau biasa disebut host family. Entah, kadang saya masih tidak percaya rahasia dari hidup ini dan hingga detik ini saya masih tidak dapat menjelaskan rencana Yang Mahaesa di kala saya mengetahui untaian seleksi AFS/YES yang berlangsung lebih dari satu tahun ini berhasil saya lewati. Dan syukur kepada Tuhan, saya memperoleh beasiswa YES untuk tahun program 2014/2015 ke Amerika Serikat Namun, setelah dipastikan lolos seluruh seleksi tersebut saya belum bisa sepenuhnya lega karena masih ada satu hal lagi yang harus saya penuhi untuk tinggal di Amerika Serikat yaitu, host family. Host family adalah keluarga berkewarganegaraan negara yang dituju yang sudi menerima siswa pertukaran pelajar selama satu tahun program. Host family (di Amerika) tersebar di lima puluh negara bagian Amerika Serikat. Awalnya saya tidak terlalu berharap saya akan memperoleh host family yang berdomisili di negara bagian besar dan terkenal. Saya hanya berharap ada yang mau menampung saya karena bagi saya, adalah sebuah anugrah besar untuk pergi ke Amerika. Semua itu terjawab pada tanggal 20 Juni 2014. Saat itu saya sedang menonton film pemenang Academy Awards mengenai seorang anak lelaki yang terombang-ambing selama berhari-hari di atas samudra bersama seekor harimau. Kakak saya menelepon saya dan berteriak :
“Nang, kamu dapet di New York!”
Saya tidak dapat berkata apapun mendengarnya, saya lemas, dan saya sangat ingin berteriak. Luapan emosi bercampur-aduk di dada saya, dan sesaat setelahnya saya menangis. Saya hanya mampu mengucap terima kasih pada Tuhan dalam hati dan menyaut telepon kakak saya dengan tangisan bahagia. Saya tidak tahu apakah itu merupakan suatu hal yang nyata yang baru saja saya peroleh. Mulai dari saat itu saya tahu 2 hal adalah benar, yaitu :
-Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukan dunia
-Man jadda wa jadda

Jika tidak ada aral melintang, 11 Agustus 2014 nanti saya akan berangkat ke Washington DC dan selanjutnya tinggal di host family saya di Troupsburg, New York. Sebuah kota kecil, dua setengah jam jauhnya dari kota New York jika ditempuh menggunakan mobil, Apakah ini nyata? Ya. Mengapa saya bisa berada di posisi saya sekarang? Saya juga tidak tahu detilnya. Tetapi satu hal yang pasti adalah perjalanan saya dimulai dari sebuah mimpi dan kesediaan kita untuk berlabuh menuju pengembaraan laksana roller coaster. Urusan bagaimana kita akan berada di puncak lintasan atau di dasar lintasan roller coaster, kita dapat mengusahakannya. Tak lupa, penyerahan diri kepada kehendak Ilahi sangatlah penting karena dunia ini penuh dengan faktor X. Di suatu waktu kita dapat sangat beruntung, namun di waktu lain kita dapat menjadi orang tersial di dunia ini. Dan jangan pernah merasa terpinggrikan atau terindimidasi atas dasar asal-usul kita. Mimpi tidak membutuhkan siapa kita, tapi mimpi membutuhkan usaha dan keihklasan kita. Tetap semangat dan terus kejar cita-citamu! Oh ya, satu lagi. Don’t you ever dare to hesitate the power of your dreams! It can be as real as the oxygen that you’re breathing right now despite you have no capability to see it.

“Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.” Arai dalam novel Sang Pemimpi

Indramayu, 4 Juli 2014




You may also like

5 komentar:

  1. Selamat jalan Bagas! Explore your new world then please come back next year to share with us in Chapter Karawang :)

    BalasHapus
  2. Thanks Kak Bajra untuk posting-nya :)

    BalasHapus
  3. Anonim8/17/2014

    Trully inspiring Bagas!, thanks for sharing your "dream" with us. Enjoy NY and NYC.

    Kak Nina

    BalasHapus
  4. Anonim9/17/2014

    sukses selalu buat bagas! maaf gak bisa ketemu bagas sebelum berangkat, kota kecil menunggu berubahan darimu.

    kak ayu laksono

    BalasHapus
  5. mau nyusul ka bagaaas :')

    BalasHapus