A Story From Bagas Adhika Putra (YES Program)


Aneh, merupakan suatu kata jitu dalam mencerminkan pola pikir kita, sebagai manusia yang berkemampuan untuk menelurkan berbagai macam kreatifitas, jalan keluar, dan adat-istiadat. Saya hendak mengajak kita berhenti sejenak dan merenungkan betapa dahsyat nalar serta budi yang dianugerahkan Sang Pencipta (jika dipergunakan secara bijaksana dan seksama). Dengan berat berkisar antara 1300 hingga 1400 gram, objek luar biasa di dalam tengkorak manusia ini dapat menciptakan keunikan dan keanekaragaman di tengah-tengah dunia yang adakalanya monoton. Penerapan dari keunikan otak manusia ini diukur dan dilihat melalui bagaimana kita sebagai individu menafsirkan suatu permasalahan dan mencari solusi-solusi yang mungkin dalam rangka mencapai konformasi. Dengan dimilikinya keleluasaan berpikir dan mencerna situasi inilah, maka kemudian lahir perbedaan di masyarakat entah secara eksplisit ataupun tersirat.


Salah satu contoh paling general dan luas ialah muncul cara hidup yang berkembang dan diwariskan dari generasi ke generasi, atau apa yang lebih dikenal sebagai budaya. Di kala saya masih duduk di bangku kelas X SMA, saya sempat mengecap sosiologi sebagai mata pelajaran peminatan, dan ada satu definisi budaya yang sangat terpaku di benak saya sampai saat ini. Definisi tersebut datang dari Prof. Dr. Koentjaraningrat. Ia menyatakan bahwa budaya adalah “keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.” Penegasan yang cukup sederhana beliau tadi membawa saya menganalisa apa yang terjadi selama lima bulan saya menetap di negeri orang. “Keseluruhan manusia” Ibu Pertiwi dan “keseluruhan manusia” Paman Sam ternyata kontras berbeda, namun dari situ saya memetik beberapa pelajaran mengenai budaya. Di kesempatan ini, saya ingin memberikan secuil pengalaman lakonik dan terkadang menimbulkan tanda tanya terhadap warga negara Amerika. Mari kita mulai.


Sebelum kami, para siswa pertukaran pelajar asal Indonesia mengarungi langit dan mendarat di lima benua, kami terlebih dahulu menjalani sebuah orientasi pra-keberangkatan di Desa Wisata, Taman Mini Indonesia Indah selam 7 hari. Di sana kami dibekali dengan berbagai macam pandangan, studi kasus, dan pemecahan masalah ketika kami telah berada resmi menjadi siswa pertukaran pelajar. Hari keempat orientasi, seorang kakak dari pihak Bina Antarbudaya pusat menyampaikan penjelasan bagaimana kami harus melihat budaya dari kacamata kedua belah pihak. Mungkin ada sebagian dari pembaca yang tidak asing dengan teori ini, “Teori Gunung Es.”. Gunung es mengapung di atas air dan terlihat oleh mata, tetapi di bawah permukaan mereka dapat memperpanjang ratusan meter kaki atau bahkan ribuan kilometer dan dapat secara signifikan lebih besar daripada apa yang terlihat di atas air. Sebagai metafora untuk budaya, bagian dari gunung es di atas permukaan adalah budaya terlihat, termasuk hal-hal seperti misi, visi dan nilai-nilai yang dinyatakan, cara berpakaian, gesture atau bahasa tubuh, selera musik, aksen, gaya bahasa, dll. Adalah hanya sepenggal dari kepribadian utuh kita yang terpapar di luar seperti layaknya puncak dari gunung es yang nampak di atas air tersebut. Namun ketika kita menilik ke bawah, akan kita jumpai bongkahan besar kepribadian kita yang tidak kentara. Apa yang di atas permukaan tidak selalu konsisten dengan apa yang di bawah ini. Beberapa aspek dari budaya tak kasat mata dari seorang individu adalah tingkat independensi, pengambilan keputusan, ide dalam membesarkan anak, pemahaman terhadap keindahan, relasi dengan bawahan, interaksi sosial, pendapat mengenai logika dan keabsahan sesuatu, pola menangani emosi pribadi, dan masih banyak lagi. Apa yang baru saja disebutkan biasanya dilakukan secara tidak sadar karena aspek-aspek tersebut telah tertanam begitu kuat sebagai identitas kita. Lebih jauh lagi terkait budaya, dua budaya yang bertemu satu sama lain dapat dianalogikan seperi dua gunng es yang saling bertabrakan. Puncak dari gunung es tidak mengalami dampak langsung, namun es di bawah permukaan airlah yang harus menanggung akibat. Analogi ini sering disebut sebagai culture clash. Culture clash adalah peristiwa di mana terjadi konflik internal (cek-cok dalam diri seorang individu) ketika budayanya diekspos kepada budaya individu atau kelompok lain. Ketidaknyamanan, kebingungan, serta perasaan seakan-akan tersinggung adalah ciri utama dari culture clash. Adakalanya anda akan terperanjat menyaksikan culture clash dapat menghasilkan pengalaman-pengalaman lucu dan menggundahkan. Berikut ini adalah cerita pendek culture clash yang saya lalui.


Saya adalah seorang remaja tujuh belas tahun asal Indramayu, Jawa Barat, Indonesia. Dengan latar belakang kedua orang tua yang berasal dari kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, saya dibesarkan melalui sistem pengasuhan Jawa klasik yang menempatkan orang tua sebagai orang paling terhormat. Terlibat dalam sebuah argumen dengan mereka berdua bukanlah sebuah pilihan. Di samping itu, nada berbicara tinggi dengan intensitas yang sering (berbicara cepat) dianggap sebagai hal tabu atau tidak pantas. Menyampaikan pendapat terkadang sulit, karena dalam banyak kesempatan kami terbiasa hanya menurut terhadap petuah orang tua. Alhasil, sedikit banyak saya telah menyerap pola asuh ini sebagai bagian dari diri saya. Walaupun saya cenderung kritis dan vokal, ketika berhadapan dengan orang tua atau orang yang lebih tua, bagian “bawah air gunung es” saya tetap saja mencuat. Singkat cerita, paska kedatangan di Amerika dan hidup bersama host family saya, bias dikatakan saya telah melalui roller coaster ride. Pada masa-masa awal atau dikenal dengan “honeymoon stage” (fase bulan madu; 3 bulan pertama), saya masih mengamati dan berusaha menterjemahkan sedikit demi sedikit gunung es budaya host family saya dengan harapan saya mampu menghindari culture clash.


Selanjutnya, seperti peringatan kakak-kakak ketika orientasi nasional berlangsung, bulan keempat ketujuh ialah momen di mana bulan madu berakhir dan kami harus siap menghadapi bentrok batin dan permasalahan dalam dan luar keluarga. Tanpa basa-basi, ketika bulan keempat berjalan, culture clash pun datang menghampiri. Kejadian apa yang menuntun kepada konflik ini? Sederhana: gaya dan nada berbicara. Seperti yang kita ketahui lewat film atau media lainnya, masyarakat barat lebih cenderung berbicara dengan tegas dan mengkritisi secara gamblang tanpa adanya pendekatan verbal dahulu. Mereka akan menyampaikan poin dengan intonasi yang jauh melampaui intonasi kebanyakan orang Jawa ketika bercakap-cakap. Kebetulan, host family saya sangat sesuai dengan deskripsi tadi. Sebenarnya, saya tidak begitu kaget dengan lingkungan ini. Saya malah akan menganga dan menggelengkan kepala apabila host family saya “anteng”,  dan “kalem”. Seiring melajunya waktu, saya merasa sedikit tidak nyaman dengan situasi ini, karena saya sering mengira mereka marah pada saya di saat mereka berbicara. Entah, kendati telah diajari mengenai budaya tutur kata orang barat, saya tetap samak nan heran mengapa saya bingung mengintepretasikan penyampaian kata dari host family saya.

Sampai pada akhirnya saya mengutarakan kepada mereka, “Dad and mom, do you hate me for some reasons that I feel like you constantly yell at me?”. Setelah diskusi cukup panjang, saya memperioleh sebuah kesimpulan dari ayah saya, “If we hated you, we would not bother ourselves to talk to you or address you when you do something wrong. And regarding the way we speak, that is just how we rock and roll. No offense, but we had no intention to hurt your feeling when we spoke.” (Jika kami membenci kamu, kami tidak akan susah payah berbicara denganmu atau menasehatimu ketika kamu melakukan kesalahan. Dan mengenai cara kami berbicara, itulah kami. Tanpa bermaksud menyinggung, kami tida berniat menyakiti perasaanm ketika kamu berbicara.) Dari situ, saya mengkonfirmasi bahwa mereka baik-baik saja dan tidak memendam ketidaksukaan terhadap saya. Setelah melewati percakapan tersebut, saya menertawakan diri saya sendiri seraya berkata: “ Dasar, dasar orang Jawa banget lo, Gas! Ini Amerika, coy! Ngomong di sini memang ada etikanya, tapi gak kudu terlalu make toto kromo. Udah, jangan diambil hati.”



Aneh? Ya. Hingga detik ini saya pun masih berjuang untuk mengurangi sensitivitas saya agar saya tidak mengartikan gaya bertutur host family atau orang barat lainnya sebagai antipati yang jika dipikir dua kali hanyalah permasalahan berlandaskan perbedaan perspektif dalam bertindak. Dalam kata lain, peribahasa yang saya pelajari di kala saya mengenyam pendidikan sekolah dasar yaitu, “Di mana bumi diinjak, di sana langit dijunjung” adalah keharusan mutlak. Saya sendiri menilai aksi ini tidak mudah diimplementasikan, dan sesekali saya hampir putus asa. Satu hal yang membuat saya membalikan badan dan memutuskan untuk tetap berlari ialah pepatah klise, “what doesn’t kill you makes you stronger.”


You may also like

1 komentar:

  1. Anonim1/26/2015

    Thanks to Kak Bajra untuk postingannya.
    Hahaha Bagas banget ini article :)

    Kak Wulan

    BalasHapus